Dampak Konsumerisme dan Hedonisme
Kelulusan
SMA telah diumumkan. Mereka yang menanti dengan harap-harap cemas sudah dapat
melihat hasil dari perjuangannya. Ada yang bisa bernafas lega karena dinyatakan
lulus. Ada juga yang harus menerima kenyataan pahit bagi mereka yang tidak
lulus. Kelulusan memang dibutuhkan sebagai pra syarat untuk melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Sama
halnya dengan di kota-kota lain, di kota pelajar ini juga momen kelulusan sangat
dinanti-nantikan. Yogyakarta harus memberikan bukti sebagai kota pelajar dengan
hasil UN yang baik. Tetapi kenyataannya berbanding terbalik, Yogyakarta ada di
tiga terbawah dalam hal kelulusan tingkat SMA. Lalu muncul pertanyaan, apa yang
menyebabkan hal itu terjadi?
Tentunya
perlu ada evaluasi untuk menyikapi hal ini. Di mana letak permasalahannya apakah
ada pada individu siswa itu sendiri atau kah faktor sekolah? Sekolah pasti
sudah berusaha untuk memberikan pengajaran yang terbaik bagi para siswa. Itu
berarti yang harus lebih dicermati ada pada pola kehidupan siswa itu sendiri.
Arus
globalisasi yang melanda dunia memang bagaikan dua mata pisau. Apabila kita
bisa bijak menyikapinya maka banyak hal-hal positif yang dapat diambil.
Sebaliknya, apabila kita tidak bijak dalam menghadapinya bukan tidak mungkin
malah hal-hal negatif yang diperoleh.
Hal
itu juga yang melanda pelajar kita. Pelajar kita telah menjadikan konsumerisme
dan hedonisme sebagai gaya hidup yang dibawa oleh globalisasi. Budaya konsumerisme
dan hedonisme di kalangan pelajar ini dapat diidentifikasi dari gaya hidup
mereka. Pelajar kita lebih bangga memegang blackberry atau barang mewah lainnya
daripada buku. Bahkan, ketika di kelas pun masih banyak yang lebih memilih
mengutak-atik barang mewah tersebut daripada menyimak penjelasan guru.
Mereka
menjadikan barang mewah sebagai tolok ukur untuk meraih kesenangan dan
kebahagiaan. Setiap hari mereka bergelut dengan itu dan melupakan tugas mereka
sesungguhnya yakni belajar. Proses belajar dianggap hal yang menjemukan dan
dianggap sebagai rutinitas belaka. Belajar tidak lagi dianggap sebagai media
untuk menggapai cita-cita. Toh kesenangan telah didapat lewat barang-barang
mewah dan materi.
Materi
dipandang sebagai tujuan hidup yang akan membawa kesenangan. Jadi buat apa
belajar kalau memang tujuan hidup telah tercapai yaitu materi dan barang mewah.
Paradigma seperti ini akan membawa konsekwensi bahwa belajar bukanlah hal yang
penting. Sekolah hanya dijadikan media untuk mendapatkan ijazah semata.
Sedangkan, untuk masalah keilmuan seakan-akan tidak dipedulikan. Yang ada
dibenak mereka hanyalah kesenangan yang bisa didapatkan dari materi dan
barang-barang mewah.
Sikap
seperti itu sangat berbahaya bagi generasi kita. Gaya hidup yang demikian hanya
akan melahirkan generasi yang sangat
suka dengan cara-cara instan. Mereka tidak mau bersusah payah dan bekerja keras
untuk mendapatkan sesuatu. Mental mereka telah tergantikan oleh materi. Mereka
beranggapan materi akan memberikan apa yang diinginkan.
Budaya
konsumerisme dan hedonisme ini juga dapat membentuk pribadi yang
individualistik. Barang mewah dianggap sebagai teman dan materi sebagai tujuan.
Ia tidak lagi peka terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga sikap sosialisasi
dengan masyarakat pun sangat kurang. Budaya seperti ini tidak mencerminkan
budaya Timur tetapi lebih mewakili budaya Barat.
Gaya
hidup seperti ini ternyata membawa implikasi terhadap belajar para siswa. Mereka
tidak lagi semangat untuk belajar karena telah terkontaminasi budaya hedonisme
dan konsumerisme. Mereka akan sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu
yang hanya memuaskan nafsu kesenangan mereka. Hasilnya dapat dilihat, banyak
siswa di kota pelajar ini yang tidak lulus dalam Ujian Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar