Rabu, 13 Juni 2012

Dampak Konsumerisme dan Hedonisme


Dampak Konsumerisme dan Hedonisme
Kelulusan SMA telah diumumkan. Mereka yang menanti dengan harap-harap cemas sudah dapat melihat hasil dari perjuangannya. Ada yang bisa bernafas lega karena dinyatakan lulus. Ada juga yang harus menerima kenyataan pahit bagi mereka yang tidak lulus. Kelulusan memang dibutuhkan sebagai pra syarat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sama halnya dengan di kota-kota lain, di kota pelajar ini juga momen kelulusan sangat dinanti-nantikan. Yogyakarta harus memberikan bukti sebagai kota pelajar dengan hasil UN yang baik. Tetapi kenyataannya berbanding terbalik, Yogyakarta ada di tiga terbawah dalam hal kelulusan tingkat SMA. Lalu muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan hal itu terjadi?
Tentunya perlu ada evaluasi untuk menyikapi hal ini. Di mana letak permasalahannya apakah ada pada individu siswa itu sendiri atau kah faktor sekolah? Sekolah pasti sudah berusaha untuk memberikan pengajaran yang terbaik bagi para siswa. Itu berarti yang harus lebih dicermati ada pada pola kehidupan siswa itu sendiri.
Arus globalisasi yang melanda dunia memang bagaikan dua mata pisau. Apabila kita bisa bijak menyikapinya maka banyak hal-hal positif yang dapat diambil. Sebaliknya, apabila kita tidak bijak dalam menghadapinya bukan tidak mungkin malah hal-hal negatif yang diperoleh.
Hal itu juga yang melanda pelajar kita. Pelajar kita telah menjadikan konsumerisme dan hedonisme sebagai gaya hidup yang dibawa oleh globalisasi. Budaya konsumerisme dan hedonisme di kalangan pelajar ini dapat diidentifikasi dari gaya hidup mereka. Pelajar kita lebih bangga memegang blackberry atau barang mewah lainnya daripada buku. Bahkan, ketika di kelas pun masih banyak yang lebih memilih mengutak-atik barang mewah tersebut daripada menyimak penjelasan guru. 
Mereka menjadikan barang mewah sebagai tolok ukur untuk meraih kesenangan dan kebahagiaan. Setiap hari mereka bergelut dengan itu dan melupakan tugas mereka sesungguhnya yakni belajar. Proses belajar dianggap hal yang menjemukan dan dianggap sebagai rutinitas belaka. Belajar tidak lagi dianggap sebagai media untuk menggapai cita-cita. Toh kesenangan telah didapat lewat barang-barang mewah dan materi.
Materi dipandang sebagai tujuan hidup yang akan membawa kesenangan. Jadi buat apa belajar kalau memang tujuan hidup telah tercapai yaitu materi dan barang mewah. Paradigma seperti ini akan membawa konsekwensi bahwa belajar bukanlah hal yang penting. Sekolah hanya dijadikan media untuk mendapatkan ijazah semata. Sedangkan, untuk masalah keilmuan seakan-akan tidak dipedulikan. Yang ada dibenak mereka hanyalah kesenangan yang bisa didapatkan dari materi dan barang-barang mewah.
Sikap seperti itu sangat berbahaya bagi generasi kita. Gaya hidup yang demikian hanya akan  melahirkan generasi yang sangat suka dengan cara-cara instan. Mereka tidak mau bersusah payah dan bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Mental mereka telah tergantikan oleh materi. Mereka beranggapan materi akan memberikan apa yang diinginkan.
Budaya konsumerisme dan hedonisme ini juga dapat membentuk pribadi yang individualistik. Barang mewah dianggap sebagai teman dan materi sebagai tujuan. Ia tidak lagi peka terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga sikap sosialisasi dengan masyarakat pun sangat kurang. Budaya seperti ini tidak mencerminkan budaya Timur tetapi lebih mewakili budaya Barat.
Gaya hidup seperti ini ternyata membawa implikasi terhadap belajar para siswa. Mereka tidak lagi semangat untuk belajar karena telah terkontaminasi budaya hedonisme dan konsumerisme. Mereka akan sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu yang hanya memuaskan nafsu kesenangan mereka. Hasilnya dapat dilihat, banyak siswa di kota pelajar ini yang tidak lulus dalam Ujian Nasional.



Selasa, 12 Juni 2012

pancasila sebagai weltanschauung


Pancasila sebagai Weltanschauung
Tepat tanggal 1 Juni kemarin diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Ia lahir sebagai sebuah ideologi atau pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia. Ia lahir dari hasil galian para Founding Father terhadap kekayaan budaya bumi Indonesia. Pancasila menjadi miniatur karakter kepribadian bangsa.
Tapi apakah Pancasila di zaman sekarang masih dijiwai oleh insan Indonesia? Sedangkan apabila dilihat realitas yang terjadi berbanding terbalik dengan nilai-nilai Pancasila. Banyak dari generasi muda kita yang terjebak dalam pergaulan bebas. Begitu juga kalangan ekonomi atas sebagian dari mereka terhanyut dalam kehidupan hedonis. Pemerintahan kita juga tidak terlepas selalu diselimuti dengan korupsi. Di belahan bumi Indonesia lain juga ternyata masih terjadi pertikaian antar suku maupun kelompok. Ada pula tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Apakah ini bukti pengaplikasian nilai-nilai Pancasila?
Realitas di atas mengindikasikan bahwa sebagian insan Indonesia sudah tidak menjiwai nilai-nilai Pancasila. Tindakan seperti itu sangat bertolakbelakang dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila tidak pernah membenarkan tindakan seperti itu. Pancasila sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan. Warga Negara Indonesia yang melakukan hal seperti itu berarti ia telah mencederai nilai-nilai Pancasila yang dicita-citakan oleh para Founding Father itu sendiri.
Sikap seperti itu bukan merupakan karakter bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal dengan sikap ramah-tamah dan kegotong-royongannya. Bangsa ini mempunyai budi pekerti yang luhur sebagai hasil dari sebuah kebudayaan. Kemudian, kebudayaan itu lah yang melahirkan Pancasila.
Ajaran Pancasila ini bersifat universal. Ia mampu menjembatani setiap perbedaan baik suku, adat, bahasa, bahkan agama yang ada di Indonesia. Semuanya dipersatukan dan diikat oleh bingkai yang bernama Pancasila. Ia merupakan sebuah ideologi yang sangat tepat bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, mari kita sama-sama menghayati, menjiwai, dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Selasa, 05 Juni 2012

suporter Anarkis Sepak Bola Menangis


Suporter Anarkis Sepak Bola Menangis
Insan sepak bola Indonesia dikejutkan lagi dengan aksi brutal sekelompok yang menamakan diri sebagai pendukung sepak bola. Laga Persija Jakarta VS Persib Bandung yang bertajuk Derby Indonesia memakan korban akibat kefanatisan yang berlebihan. Tontonan sepak bola yang seharusnya menghibur baik di lapangan maupun di luar berubah menjadi malapetaka ketika jiwa dirasuki rasa kebencian. Orang atau kelompok yang berbeda dalam mendukung tim harus siap dengan segala resikonya ketika menonton di kandang lawan. Sepak bola menjadi ajang pencabutan nyawa secara paksa akibat tangan-tangan tidak bertanggungjawab. Nyawa-nyawa yang tak berdosa melayang begitu saja tanpa ada kejelasan. Ini menunjukkan ketidakdewasaan insan sepak bola khususnya suporter klub-klub di Indonesia.
Dalam menyikapi hal ini pemerintah dalam kasus ini PSSI harusnya bersikap tegas. Harus ada hukuman yang benar-benar memberi efek jera kepada kelompok suporter yang berbuat anarkis. Saya kira hukuman dengan denda atau pertandingan kandang tanpa suporter dalam beberapa pertandingan saja rasanya tidak cukup. Memang itulah sanksi yang kebanyakan diterapkan saat ini. Harus ada sesuatu yang benar-benar “memukul” telak terhadap kelompok seperti itu misalnya dengan memberi sanksi pertandingan tidak boleh dihadiri suporter yang bermasalah baik kandang maupun tandang bukan hanya beberapa pertandingan tapi tiga tahun beserta denda yang tidak sedikit. Itu bisa dicoba dan kita lihat hasilnya.
Dengan sanksi seperti itu bukan saja kelompok suporter yang merana tidak bisa menyaksikan tim kesayangannya secara langsung tapi juga membawa dampak terhadap klub sepak bola itu sendiri. Klub kehilangan pemasukan dari hasil penjualan tiket yang biasanya menjadi suntikan dana bagi klub. Dalam masa itu diharapkan suporter sadar dengan apa yang telah dilakukannya justru merugikan tim yang didukungnya. Seorang atau sekelompok fans yang seharusnya mendukung dan memberi semangat klub untuk meraih kemenangan malah mencederai filosofi suporter itu sendiri. Hal ini menimbulkan penyesalan tersendiri bagi mereka yang mengaku fans kepada salah satu klub sepak bola.
Sebetulnya dalam hal ini bukan hanya pemerintah yang harus turun tangan tetapi harus dimulai dahulu dari kesadaran individu-individu itu sendiri untuk menciptakan suasana yang nyaman dalam sepak bola. Dalam hal ini peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mencetak individu-individu yang bertanggungjawab dan itu dapat dimulai dari rumah. Rumah harus menjadi tempat pendidikan pertama sebelum anak belajar di luar. Rumah harus jadi tempat yang nyaman bagi anak sehingga anak tidak mencari pelampiasan di luar. Alasan memilih rumah sebagai pijakan pertama karena memang aksi-aksi anarkis antar suporter kebanyakan dilakukan oleh kalangan remaja.
Ini sebenarnya persoalan identitas. Generasi muda kita sedang mengalami apa yang dinamakan krisis identitas. Mereka sebenarnya hanya berusaha ingin menampilkan sesuatu supaya eksistensinya diakui. Tetapi kemudian jalan yang dipilih mereka ternyata menyalahi norma-norma yang ada. Mungkin dengan melakukan anarki ia merasa diakui eksistensinya dalam kelompok. Sebaliknya, pengakuan tersebut tidak ia dapatkan di rumah. Ini sebenarnya persoalan karakter dan pencarian identitas.
Selanjutnya, yang dibutuhkan adalah peran dari organisasi yang menghimpun para suporter. Para pengurus harus memberi arahan kepada anggotanya berdasarkan AD dan ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) yang ada dalam organisasi tersebut. Mereka harus menjadikan organisasi tersebut bukan hanya sekumpulan orang-orang yang mendukung suatu klub sepak bola. Lebih dari itu organisasi tersebut harus dijadikan ajang silaturahmi dan gerakan sosial dalam bidang kemanusiaan. Suporter tidak hanya bertugas mendukung ketika tim kebanggaan main tapi di samping itu ada kegiatan yang benar-benar bermanfaat. Inilah sebenarnya budaya bangsa kita yang senantiasa menjalin persaudaraan dan peduli terhadap sesama.
Apabila elemen-elemen ini bekerja dengan baik dari mulai individu, organisasi dan pemerintah maka kejadian anarkis apalagi sampai merenggut nyawa seseorang dapat diminimalisir atau bahkan dihindari. Tentunya membereskan masalah seperti ini tidak semudah memutarbalikkan tangan tetapi kita harus tetap optimis bahwa suporter kita akan dewasa. Harapan akan selalu ada apabila kita mau berusaha merubahnya demi persepakbolaan Indonesia agar lebih jaya.
Kita tidak mau lagi mendengar ada yang namanya manusia meregang nyawa dalam kegiatan sepak bola. Cukup kejadian di GBK itu menjadi yang terakhir menghiasi catatan kelam persepakbolaan Indonesia. Jangan sampai nyawa mereka tercabut dengan sia-sia. Pengorbanan mereka harus kita hormati dengan cara mengambil pelajaran dari itu semua. Damai antar kelompok suporter merupakan tindakan yang tepat yang mencerminkan kedewasaan tiap suporter. Dengan itu semua semoga persepakbolaan Indonesia maju dan bisa berbicara di tingkat internasional.